sejarah gelora bung karno
Stadion Gelora Bung Karno dibiayai oleh Kruschev, darimana Indonesia punya duit membangun stadion sebesar itu. Sampai sekarang stadion itu masih berdiri megah dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Tapi bangsa Indonesia masih ada yg menertawakan Russia.
Memang sikap demikian seperti sikap Bung Karno sejati, sudah dibantu banyak, malah main mata dengan Amerika.
Membangun Olahraga Sebatas Fisik
"INI merupakan stadion yang terhebat di seluruh dunia, milik bangsa Indonesia. Saya sudah berkeliling dunia, sudah melihat Stadion Rio de Janeiro, sudah melihat stadion di Warsawa, sudah melihat stadion di Meksiko, sudah melihat stadion di negeri-negeri lain. Wah, Stadion Utama Jakarta adalah stadion terhebat di seluruh dunia."
KUTIPAN itu adalah penggalan pidato Presiden Soekarno ketika meresmikan Stadion Utama Jakarta (kini Gelora Bung Karno) tanggal 21 Juli menjelang pembukaan Asian Games IV di Jakarta tahun 1962.
Seluruh rakyat Indonesia kala itu memang layak berbangga. Bayangkan, dari sebuah negara yang tidak memiliki sarana apa-apa di bidang olahraga, Soekarno justru berhasil meyakinkan negara-negara di Asia bahwa negara ini mampu menjadi tuan rumah event olahraga besar sekelas Asian Games.
Potret Indonesia miskin jelas menimbulkan keraguan di negara-negara Asia. Mana mungkin Indonesia mampu! Begitu tudingan yang muncul. Sampai-sampai koran terbitan Singapura, The Strait Times, membuat berita berjudul Lonceng Kematian Asian Games Telah Berdentang di Jakarta.
Namun, yang namanya Soekarno, ternyata tidak membuat malu bangsa ini. Di tengah keragu-raguan itu, dia malah memutarbalikkan keadaan. Tidak hanya berhasil mencengangkan mata negara-negara Asia saat memandang megahnya Stadion Utama, prestasi atlet Indonesia tanpa diduga menempati urutan kedua di bawah Jepang. Negara-negara Asia yang sebelumnya menyepelekan terpaksa angkat topi atas sukses Indonesia di sisi pembangunan fisik dan prestasi.
Padahal, pada Asian Games I di New Delhi, Indonesia hanya menempati urutan ke-7 di antara 11 negara. Event sama di Manila dan Tokyo, sama saja, tidak ada perak apalagi emas. Ternyata ketika bertanding di Tanah Air sendiri, Indonesia mempersembahkan 11 medali emas, 12 perak, dan 28 perunggu.
Fantastis. Mungkin hanya itu yang dapat kita ungkapkan. Semua itu dibangun Soekarno hanya dalam kurun waktu tiga tahun.
Apa yang dapat ditarik dari sejarah keberhasilan Indonesia di Asian Games 1962? Tidak lain tekad, kerja keras, serta rasa kebersamaan.
Tekad dan kerja keras telah ditunjukkan Soekarno ketika dia mampu membangun sebuah stadion raksasa berstandar internasional dengan kapasitas 110.000 orang. Bangunan megah itu hadir tatkala Indonesia hanya dipandang sebelah mata oleh tetangganya.
"Saya akan membuat sebuah situs olahraga yang bakal dikenang oleh bangsa Indonesia ratusan tahun ke depan, " ucap Soekarno kepada Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Kruschev di awal tahun 1959. Soviet kemudian banyak membantu dalam dana dan arsitektur bangunan Gelora.
Apa yang diucapkan Soekarno mungkin bakal terbukti. Karena Gelora yang akan berulang tahun ke-41 tanggal 24 September 2003 ini, rasanya masih akan dikenang sampai 100 tahun. Atau bahkan lebih lama dari perkiraan Soekarno, sampai selama Indonesia masih ada.
Kerja keras telah pula ditunjukkan oleh para atlet untuk mencetak prestasi. Banyak orang tidak tahu bahwa Mohammad Sarengat, atlet peraih dua medali emas Asian Games 1962, rela meninggalkan kuliahnya selama setahun demi mengikuti pemusatan latihan, mirip seperti pelatnas saat ini. Ia berlatih keras, pagi dan sore, bahkan kadang siang hari.
Sebanyak 419 atlet dari daerah dipanggil untuk seleksi. Namun, hanya 333 atlet yang mendapat peran untuk membela kehormatan bangsa dan negara. Indonesia memiliki 14 cabang andalan, yaitu angkat besi, atletik, balap sepeda, bola basket, bola voli, gulat, bulu tangkis, hoki, menembak, renang, sepak bola, tenis, tenis meja, dan tinju.
Sarengat mengungkapkan, malam sebelum final, ia begitu pulas tertidur, seakan esok hari dia tidak ada pekerjaan besar atas nama bangsa yang menantinya. Beberapa jam sebelum bertanding, kakinya demikian enteng melangkah. Sesaat sebelum start diminumnya tiga teguk air bening yang disediakan ibunya.
Belakangan Sarengat mengetahui ternyata air yang diminumnya menjelang start adalah air bekas keramas ibunya. Air itu sebenarnya air hangat biasa yang dipakai untuk bilasan terakhir rambut ibunya ketika keramas. Namun, hakikatnya, air itu adalah lambang cinta tulus seorang ibu kepada anak yang disayanginya. Air itu mampu menciptakan sugesti sehingga fungsinya berubah menjadi "doping".
Minarni dan kawan-kawan (bulu tangkis) mempersembahkan emas pertama buat Indonesia pada Asian Games 1962 itu. Disusul Sarengat, Tan Joe Hok dan kawan-kawan (bulutangkis), Lanny Gumulya (loncat indah), serta regu balap sepeda Hendrik Brooks. Medali perak disumbangkan oleh Serma Lessy dan Lely Sampurno dan lain-lain.
Dalam pertemuan dengan mantan atlet berprestasi Indonesia-antara lain Tan Joe Hok, Syamsul Anwar Harahap, Icuk Sugiarto, Richard Sambera, dan Lukman Niode-Selasa lalu, Sarengat mengungkapkan, pada masanya bertanding, atlet hanya berpikir bagaimana memenangkan pertandingan. Tidak pernah memikirkan penghargaan apa yang akan diperoleh.
Bahkan, pada saat itu tidak ada istilah uang saku. Untuk memperoleh uang, atlet harus menjual jatah telor kepada tukang jamu gendongan. Para atlet juga harus membawa ceret ke lapangan untuk minum, karena waktu itu belum ada minuman kemasan. Dengan segala keterbatasan, mereka justru mampu menyumbangkan 11 medali emas sekaligus menorehkan cerita sejarah Indonesia yang tidak tau kapan akan terulang.
Rasa tanpa pamrih para atlet pada masa lalu seperti dituturkan Sarengat adalah wujud kebersamaan atau lebih dikenal sebagai rasa nasionalisme. Tidak memikirkan diri sendiri atau kelompoknya. Semua kerja keras dipersembahkan demi ke negara dan bangsa ini.
Tentu muncul pertanyaan, apakah prestasi merosot-tidak hanya di kancah Asia malah di Asia Tenggara-pertanda bahwa atlet Indonesia sekarang "cengeng", tidak mau kerja keras, tidak memiliki rasa nasionalisme.
Stadion Gelora Bung Karno dibiayai oleh Kruschev, darimana Indonesia punya duit membangun stadion sebesar itu. Sampai sekarang stadion itu masih berdiri megah dan menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Tapi bangsa Indonesia masih ada yg menertawakan Russia.
Memang sikap demikian seperti sikap Bung Karno sejati, sudah dibantu banyak, malah main mata dengan Amerika.
Membangun Olahraga Sebatas Fisik
"INI merupakan stadion yang terhebat di seluruh dunia, milik bangsa Indonesia. Saya sudah berkeliling dunia, sudah melihat Stadion Rio de Janeiro, sudah melihat stadion di Warsawa, sudah melihat stadion di Meksiko, sudah melihat stadion di negeri-negeri lain. Wah, Stadion Utama Jakarta adalah stadion terhebat di seluruh dunia."
KUTIPAN itu adalah penggalan pidato Presiden Soekarno ketika meresmikan Stadion Utama Jakarta (kini Gelora Bung Karno) tanggal 21 Juli menjelang pembukaan Asian Games IV di Jakarta tahun 1962.
Seluruh rakyat Indonesia kala itu memang layak berbangga. Bayangkan, dari sebuah negara yang tidak memiliki sarana apa-apa di bidang olahraga, Soekarno justru berhasil meyakinkan negara-negara di Asia bahwa negara ini mampu menjadi tuan rumah event olahraga besar sekelas Asian Games.
Potret Indonesia miskin jelas menimbulkan keraguan di negara-negara Asia. Mana mungkin Indonesia mampu! Begitu tudingan yang muncul. Sampai-sampai koran terbitan Singapura, The Strait Times, membuat berita berjudul Lonceng Kematian Asian Games Telah Berdentang di Jakarta.
Namun, yang namanya Soekarno, ternyata tidak membuat malu bangsa ini. Di tengah keragu-raguan itu, dia malah memutarbalikkan keadaan. Tidak hanya berhasil mencengangkan mata negara-negara Asia saat memandang megahnya Stadion Utama, prestasi atlet Indonesia tanpa diduga menempati urutan kedua di bawah Jepang. Negara-negara Asia yang sebelumnya menyepelekan terpaksa angkat topi atas sukses Indonesia di sisi pembangunan fisik dan prestasi.
Padahal, pada Asian Games I di New Delhi, Indonesia hanya menempati urutan ke-7 di antara 11 negara. Event sama di Manila dan Tokyo, sama saja, tidak ada perak apalagi emas. Ternyata ketika bertanding di Tanah Air sendiri, Indonesia mempersembahkan 11 medali emas, 12 perak, dan 28 perunggu.
Fantastis. Mungkin hanya itu yang dapat kita ungkapkan. Semua itu dibangun Soekarno hanya dalam kurun waktu tiga tahun.
Apa yang dapat ditarik dari sejarah keberhasilan Indonesia di Asian Games 1962? Tidak lain tekad, kerja keras, serta rasa kebersamaan.
Tekad dan kerja keras telah ditunjukkan Soekarno ketika dia mampu membangun sebuah stadion raksasa berstandar internasional dengan kapasitas 110.000 orang. Bangunan megah itu hadir tatkala Indonesia hanya dipandang sebelah mata oleh tetangganya.
"Saya akan membuat sebuah situs olahraga yang bakal dikenang oleh bangsa Indonesia ratusan tahun ke depan, " ucap Soekarno kepada Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Kruschev di awal tahun 1959. Soviet kemudian banyak membantu dalam dana dan arsitektur bangunan Gelora.
Apa yang diucapkan Soekarno mungkin bakal terbukti. Karena Gelora yang akan berulang tahun ke-41 tanggal 24 September 2003 ini, rasanya masih akan dikenang sampai 100 tahun. Atau bahkan lebih lama dari perkiraan Soekarno, sampai selama Indonesia masih ada.
Kerja keras telah pula ditunjukkan oleh para atlet untuk mencetak prestasi. Banyak orang tidak tahu bahwa Mohammad Sarengat, atlet peraih dua medali emas Asian Games 1962, rela meninggalkan kuliahnya selama setahun demi mengikuti pemusatan latihan, mirip seperti pelatnas saat ini. Ia berlatih keras, pagi dan sore, bahkan kadang siang hari.
Sebanyak 419 atlet dari daerah dipanggil untuk seleksi. Namun, hanya 333 atlet yang mendapat peran untuk membela kehormatan bangsa dan negara. Indonesia memiliki 14 cabang andalan, yaitu angkat besi, atletik, balap sepeda, bola basket, bola voli, gulat, bulu tangkis, hoki, menembak, renang, sepak bola, tenis, tenis meja, dan tinju.
Sarengat mengungkapkan, malam sebelum final, ia begitu pulas tertidur, seakan esok hari dia tidak ada pekerjaan besar atas nama bangsa yang menantinya. Beberapa jam sebelum bertanding, kakinya demikian enteng melangkah. Sesaat sebelum start diminumnya tiga teguk air bening yang disediakan ibunya.
Belakangan Sarengat mengetahui ternyata air yang diminumnya menjelang start adalah air bekas keramas ibunya. Air itu sebenarnya air hangat biasa yang dipakai untuk bilasan terakhir rambut ibunya ketika keramas. Namun, hakikatnya, air itu adalah lambang cinta tulus seorang ibu kepada anak yang disayanginya. Air itu mampu menciptakan sugesti sehingga fungsinya berubah menjadi "doping".
Minarni dan kawan-kawan (bulu tangkis) mempersembahkan emas pertama buat Indonesia pada Asian Games 1962 itu. Disusul Sarengat, Tan Joe Hok dan kawan-kawan (bulutangkis), Lanny Gumulya (loncat indah), serta regu balap sepeda Hendrik Brooks. Medali perak disumbangkan oleh Serma Lessy dan Lely Sampurno dan lain-lain.
Dalam pertemuan dengan mantan atlet berprestasi Indonesia-antara lain Tan Joe Hok, Syamsul Anwar Harahap, Icuk Sugiarto, Richard Sambera, dan Lukman Niode-Selasa lalu, Sarengat mengungkapkan, pada masanya bertanding, atlet hanya berpikir bagaimana memenangkan pertandingan. Tidak pernah memikirkan penghargaan apa yang akan diperoleh.
Bahkan, pada saat itu tidak ada istilah uang saku. Untuk memperoleh uang, atlet harus menjual jatah telor kepada tukang jamu gendongan. Para atlet juga harus membawa ceret ke lapangan untuk minum, karena waktu itu belum ada minuman kemasan. Dengan segala keterbatasan, mereka justru mampu menyumbangkan 11 medali emas sekaligus menorehkan cerita sejarah Indonesia yang tidak tau kapan akan terulang.
Rasa tanpa pamrih para atlet pada masa lalu seperti dituturkan Sarengat adalah wujud kebersamaan atau lebih dikenal sebagai rasa nasionalisme. Tidak memikirkan diri sendiri atau kelompoknya. Semua kerja keras dipersembahkan demi ke negara dan bangsa ini.
Tentu muncul pertanyaan, apakah prestasi merosot-tidak hanya di kancah Asia malah di Asia Tenggara-pertanda bahwa atlet Indonesia sekarang "cengeng", tidak mau kerja keras, tidak memiliki rasa nasionalisme.
0 Comments:
Post a Comment